Mengapa Kita Bertasawuf

Tugas-tugas syariah yang diperintahkan pada diri manusia terbagi menjadi dua.

Pertama hukum-hukum yang berhubungan dengan aspek amaliyah lahiriyah.

kedua hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah bathiniyah.

Dengan kata lain ada aturan ibadah yang berhubungan dengan fisik, ada pula yang berhubungan dengan qalbu.

Amaliyah fisik terbagi dua. Perintah dan larangan. Perintah-perintah Ilahi di sini seperti sholat, zakat, haji dst. Sedangkan larangan seperti larangan membunuh, zina, mencuri, meminum khamar, korupsi dsb.

Hal yang sama dalam amaliyah Qalbu terbagi dua, perintah dan larangan.

Perintah-perintahnya seperti Iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitabNya dan RasulNya, dsb. Seperti ikhlas, ridlo, syukur, jujur, khusyu’ dan tawakkal.

Sedangkan larangan Qalbu seperti kufur, nifaq, takabur, ujub, riya’, iri dengki, ghurur, dendam dsb.

Bagian kedua inilah yang berhubungan dengan qalbu, lebih penting urgensinya dibanding yang pertama (amaliyah lahiriyah) – walaupun secara keseluruhan sama-sama pentingnya – karena alam batin itu merupakan fondasi alam lahir, sekaligus sebagai sumber aspek lahiriyah. Jika amaliyah batin rusak, akan rusak pula amaliyah lahiriyahnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“Siapa yang menghendaki bertemu Tuhannya, hendaknya melakukan amliyah yang baik, dan sama sekali tidak menyekutukan Tuhan dalam ibadahnya.” (Al-Kahfi 110)

Oleh sebab itu Rasulullah saw, sangat menekankan kepada para sahabatnya agar memperbaiki qalbunya, dan menjelaskan bahwa kebaikan manusia itu sangat tergantung pada kebaikan hatinya, menyembuhkan hatinya dari penyakit-penyakit yang tersembunyi di dalamnya. Beliau bersabda: “Ingatlah sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah (hati), jika baik maka baiklah seluruh jasad, jika jelek maka jelek pula seluruh jasad. Ingatlah, segumpal darah itu adalah qalbu.” (hr. Bukhari)

Begitu pula dalam hadits lain, Rasulullah saw, mengajarkan bahwa titik pandang Allah Ta’ala itu adalah qalbu.“Sesungguhnya Allah tidak memandang jasadmu dan rupamu. Tetapi Allah memandang pada hatimu.”

Maka, sepanjang manusia melakukan kebajikan yang berhubungan dengan qalbunya yang menjadi sumber amaliyah lahiriyahnya, maka menjadi keharusan bahwa dirinya harus menepiskan (takhalli) segala sifat yang tercela yang dilarang Allah, kemudian merias (tahalli) dengan sifat terpuji yang baik yang diperintahkan Allah kepada kita, maka pada saat itulah qalbu kita selamat dan sehat. Kita menjadi golongan yang beruntung, selamat pula, sebagaimana firmanNya:

“Di hari yang mana harta dan anak-anak tidak ada lagi gunanya, kecuali orang yang telah dianugerahi Allah dengan qalbu yang salim (selamat).” (Asy-Syu’ara’ : 88-89).

Imam Jalaluddin as-Suyuthy ra, mengatakan, “Sedangkan ilmu tentang qalbu dan mengenal penyakitnya, berupa iri dengki, ujub, dan riya’ serta semisalnya, maka Al-Ghazaly mengatakan, “Adalah Fardlu ‘Ain”.

Membersihkan qalbu, menyucikan jiwa termasuk fardlu paling utama dan merupakan kewajiban Ilahi dibalik perintahNya, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an:

Katakan, sesungguhnya Allah mengharamkan keburukan-keburukan baik yang lahir maupun yang batin” (Al-A’raaf 33)

“Janganlah mendekati keburukan-keburukan baik yang tampak maupun tersembunyi (lahir dan batin)”. (Al-Anaam 151.)

Keburukan batin menurut para mufassir adalah dendam, riya’ dengki dan nifaq.

Sedangkan dari sunnah disebutkan:

Setiap hadits Nabi saw, yang menegaskan larangan tentang dendam, takabur, riya’ dan dengki, begitu juga hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk berias dengan akhlaq yang baik dan bekerja yang baik, maka semua itu mendukung pentingnya tasawuf.

Pengarang kitab Maraqil Falah, mengatakan,” tidak ada gunanya bersuci badan kecuali dengan bersuci batin melalui keikhlasan, kebersihan jiwa dari belenggu nafsu, penipuan, dendam dan dengki, serta membersihkan hati dari segala hal selain Allah, baik jagad dunia maupun jagad akhirat. Sehingga hamba hanya menyembah Dzat Allah, bukan karena sebab tertentu. Menyembah dengan penuh rasa butuh padaNya, dan Allah melalui anugerahNya memenuhi hajat para makhlukNya sebagai Kasih sayangNya. Karena itu dalam ibadahnya mestinya si hamba hanya menuju Yang Satu dan Yang Maha Tunggal, tidak ada satu pun selain Dia, begitu juga hawa nafsu anda tidak mempengaruhi diri anda ketika bakti kepadaNya.”

Penyakit hati ini sebagai faktor yang menyebabkan jauhnya hamba dengan Allah, menjauhkan pula dari syurgaNya. Rasulullah saw, bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya masih ada sebiji atom ketakaburan.”

Kadang manusia tidak mengenal cacat dirinya, bahkan penyakit itu telah menghujam dalam di hatinya, tetapi malah dirinya menganggap telah sempurna. Lalu apa yang akan ditempuh untuk mengenal penyakit-penyakit itu, mengenal detil dalam-dalamnya yang lembut, bagaimana pula terapinya dan mebersihkannya?

Sungguh, Tasawwuf adalah ilmu yang secara khusus mendisiplinkan pada upaya pembersihan hati, mengobati penyakit hati, menyucikan jiwa dan membuang sifat-sifat manusiawi yang hina.

Dunia Islam menjadi lemah justru ketika meninggalkan ruhul Islam, yang ada dalam dunia Sufi, bahkan dunia Islam hanya tersisa kulit-kulitnya, kerangka tanpa ruhnya.

Oleh karena itu kita melihat para Ulama yang mengamalkan ilmunya, para Mursyid yang cemerlang, senantiasa memberikan nasehat manusia agar memasuki dunia Sufi dan bermajlis dengan mereka, agar terpadu antara jasad Islam dan Ruh Islam, agar merasakan makna kebeningan hati yang luhur yang elok, dan merasakan ma’rifatullah dengan haqqul yaqin, sehingga mereka bisa berias dengan CintaNya, Muraqabah padaNya dan melanggengkan dzikir padaNya.

Hijjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, ketika mendorong ummat untuk masuk ke dunia tasawuf dan merasakan buahnya, “Masuk dunia tasawuf itu Fardlu ‘Ain, karena setiap orang tidak akan mengenal cacat dirinya kecuali para Nabi – semoga sholawat dan salam pada mereka semua –“

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily mengatakan, “Siapa yang tidak berkecimpung dalam ilmu kita ini (tasawuf) maka ia bisa mati dengan membawa dosa besar, sedangkan dia tidak mengerti….”

Dalam ucapan Syeikh ini, Ibnu ‘Allan ash-Shiddiqy berkomentar mengenai ungkapan Abul Hasan Asy-Syadzily,

Pribadi mana wahai saudaraku yang berpuasa tetapi tidak kagum dengan puasanya?

Pribadi mana yang sholat tetapi tidak kagum dengan prestasi sholatnya? Begitu pula seluruh taat kita kepadaNya….”

Maka dari itu, ketika menempuh jalan seperti itu begitu sulit, bagi jiwa yang masih kurang pengetahuannya, setiap orang harus bisa melakukan mujahadah, kesabaran, sampai dia benar-benar selamat situasi yang membuatnya jauh dari Allah dan selamat dari amarahNya.

Fudlail bin ‘Iyadl mengatakan, “Seharusnya anda menekuni thariqat yang benar, dan anda jangan terpengaruh oleh jumlah minoritas para penempuh Jalan Allah. Hati-hati dengan jalan bathil, dan jangan tertipu oleh dukungan mayoritas pada kebanyakan penempuh jalan kebatilan”.

Jika anda merasa terganggu oleh kesendirian anda, maka lihatlah kepada mereka yang menempuh Jalan Allah itu (para Sufi), bersegeralah menuju kepada mereka dan tutuplah mata anda dari yang lain ketika bersama, karena mereka tidak butuh sesuatu dari anda. Dan ketika mereka menggiring anda menuju jalan anda, jangan menoleh pada mereka, karena kalau anda menoleh pada mereka, mereka akan marah pada anda.”

Comments