Makna Filosofis Gerhana Matahari Total

Jika kita ambil filosofi alam semesta, akan nampak bagaimana peran Tuhan dan posisiNya dalam diri kita masing-masing. Kita ambil saja bahwa sosok matahari itu (sebagaimana karakternya yang bercahaya) adalah simbolisasi dari sosok Tuhan. Sedangkan bulan adalah symbol utusanNya dan bumi adalah symbol jasad manusia yang gelap gulita. Matahari dengan cahayanya dapat memberikan kehidupan dan sekaligus membinasakan. Sedangkan bulan dapat memberikan penerangan ketika bumi gelap gulita karena "ditinggalkan" cahaya matahari pada saat malam. Sosok bulan itu tidak bercahaya. Ia seperti bercahaya karena mendapat pantulan cahaya matahari. Karena itu, cahaya bulan dapat disaksikan dan sekaligus penerang gelapnya bumi.
Ketika bulan berada pada garis lurus di antara matahari dan bumi itu bermakna bahwa sang Rasul telah lebur bersama Tuhan. Sosok bulan tenggelam di dalam cahaya matahari menyebabkan bumi sebagai sosok manusia menjadi gelap gulita.
Sebagaimana simbolisasi Rasul di atas, bahwa kehadiran Tuhan dalam diri manusia merupakan gradasi cahayaNya sehingga membuat manusia menjadi hidup. Rasul dijuluki juga sebagai Nurul Awwal (Cahaya pertama), al-Badru (purnama), Syamsyun (matahari), Nurun fauqa nuurin (Cahaya di atas cahaya), dll. Selain sebagai bulan, cahaya Rasul juga disebut sebagai matahari karena cahayanya yang juga berasal dari matahari. Jadi, ia dikatakan Rasul (Utusan Tuhan) karena cahayanya tidak berdiri sendiri, tetapi pantulan dari cahaya Tuhan. Dengan demikian, Rasul itu adalah sebuah pantulan "wajah" Tuhan, alias cerminNya. Ia berada dalam diri manusia hingga detik ini. Dalam makna ini, Rasul tidak pernah mengalami kematian sepanjang kehidupan manusia dan sepanjang Tuhan berkehendak untuk "melihat" DiriNya sendiri seperti bercermin.
Makna spiritual dari gerhana matahari adalah semacam panggilan Tuhan kepada UtusanNya. Atau dalam makna lain merupakan naiknya spiritual manusia ke hadhirat Tuhan. Dalam istilah spiritual sufi, peristiwa itu disebut dengan tajalli (Tuhan "turun") di satu sisi, atau taraqqi (ruhani manusia naik) di sisi lain. Tajalli dan taraqqi merupakan fenomena spiritual manusia yang mengakibatkan totalitas cahaya sekaligus totalitas kegelapan. Totalitas cahaya adalah sebuah kesadaran yang naik ke sidratul muntaha dan membuat sirna segala bentuk, rupa dan warna. Sirnanya segala bentuk, rupa dan warna adalah realitas kegelapan bagi manusia. Atas dasar ini, peristiwa mi'raj nya Nabi Muhammad SAW sebagai fenomenatajalli dan taraqqi tidak bisa dijelaskan secara detil, kecuali hanya berupa penjelasan symbol-symbol spiritual dengan apa yang disebut sebagai tujuh lapis langit dan perjumpaannya kepada para nabi di setiap langit. Karena itu, Nabi SAW sendiri telah memproklamirkan bahwa dirinyaUmmiy (tidak bisa baca tulis). Ummiy adalah ungkapan totalitas kegelapan kemanusiaannya sebagai makhluk yang bermaksud ketiadaan. Sedangkan spiritual Nabi SAW adalah totalitas cahaya. Pernyataan ummiymerupakan realitas kepasrahan total kepada Tuhan. Bahwa ketiadaan jasadnya Nabi yang disadari sebagai ketiadaan itu adalah sebuah statemen bahwa sosok Tuhan telah bertajalli di muka bumi. Semacam penegasan bahwa Tuhan turun ke bumi dan menjelma sebagai manusia. Demikian kira-kira bahasa gamblangnya.
Trus, kalau begitu, gerhana matahari itu bermakna spiritual manusia itu sebenarnya telah mengalami kenaikan atau grafiknya meningkat? tergantung. Itu kan cuma tanda bahwa Tuhan telah memberikan tanda-tanda di alam semesta agar manusia mau berpikir, merenung dan menghamba kepadaNya secara total. Bahwa ada manusia di zaman ini yang memang diangkat oleh Tuhan ke sidratul muntaha hingga ia tidak berjarak.
Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan shalat kusufisy-syamsy adalah bentuk kepedulian agar umatnya juga kebagian cahayaNya yang sudah nyata dalam diri RasulNya. Sebuah kecintaan yang dipersonifikasi lewat gerhana matahari dengan cara mengajak umatnya untuk berada dalam majelisnya.
Inilah barangkali makna yang dapat diambil dari fenomena alam semesta sebagai tanda bagi manusia. Bahwa Allah Maha Besar, dan takkan bisa "diraba" jika kita merasa besar. Kecuali jika kita menghinakan dan mengecilkan diri terhadapNya, maka Allah Yang Maha Besar akan "menghanguskan" segala bentuk, rupa dan warna yang membuat kita seolah-olah seperti besar. Wallahu A'lam wahuwa muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq…

Comments