Epistemologi Islam (Part 1)

Sebuah pesan: Janganlah menganut agama*1 Islam*2 hanya sebagai kepercayaan saja (dogma). Tapi anutlah Islam menjadi keyakinan yang ilmiah dan dapat dipraktekkan dengan nyata kebenarannya. (Kadirun Yahya)*3

{1. Kata “agama” dipadankan dengan “id-dîn” dalam bahasa Arab, yang artinya: religion, faith, creed, sovereignty, submission, belief, accountability. Root d-â-n: to be indebted, to owe, to be subject, be under someone's power, owe allegiance; to repay. Kata “religion” berasal dari kata “re” dan “ligare (that which binds)”. Dengan demikian kata “religion” berarti “that which binds back”.

2. Secara etymology, kata “Islam” berarti “menyerahkan diri/submission of oneself/surrender,” lihat misalnya: Q.2: 136.

3. Prof. S. S. Kadirun Yahya, Teknologi Al-Qur’an, [Tahun??].}

Epistemologi dikenal sebagai Sub-Sistem Filsafat, dimana tidak hanya epistemologi yang dikenal, tetapi juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang ”ada” yaitu tentang apa yang ingin dipikirkan. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu.

Oleh karena itu, maka sub-sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran yang sederhana dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang perlu dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi). Singkatnya, karena keinginan mengetahui senantiasa melekat pada manusia, maka epistemologi tidak lain dari usaha yang sistematis guna pemenuhan kebutuhan keinginan mengetahui tersebut. *5

{5. Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag., Epistemologi Pendidikan Islam, Penerbit Erlangga, 1997, hal. 1}

Terlihat dari praktek lembaga-lembaga pendidikan secara umum -- baik disadari ataupun tidak – dipisahkannya “ilmu agama” dengan “ilmu non-agama.” Selanjutnya, ilmu agama juga dipisah-pisahkan, dan begitu pula dengan ilmu-ilmu non-agama (ilmu antropologi, ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu pasti, dan lain-lain) yang kesemuanya tidak dapat diacu kepada kerangka epistemologi yang mengarah kepada unifikasi dari ilmu-ilmu ini. Akibatnya, bukan saja ilmu agama kemudian berbentur dengan ilmu non-agama, akan tetapi sesama ilmu agama dan sesama ilmu non-agama juga saling berbenturan.

Kemudian, karena tindakan sehari-hari manusia melekat pada lembaga, maka persepsi keterpisah-pisahan ini otomatis menjadi jiwa dari lembaga tersebut. Tidak dapat disangkal lagi, pada gilirannya tindak-tanduk sehari-hari lembaga ini membuahkan benturan-benturan pada kehidupan manusia sehari-hari. Dengan demikian, bukan saja keterpisahan dan benturan terjadi pada tatanan visi akan tetapi juga pada tatanan dinamika praktek kehidupan manusia sehari-hari.

Di lain pihak, terjadi hal yang sangat ironis, karena pengetahuan-pengetahuan atau ilmu-ilmu yang dianggap terpisah-pisah sehingga menyebabkan benturan-benturan sesama umat manusia pada kehidupan sehari-harinya, ternyata sangatlah bertolak-belakang dengan temuan-temuan manusia yang diperolehnya melalui keinginannya untuk mengetahui yaitu sesungguhnya semua isi alam semesta berikut manusia sedang dan senantiasa menyatu bersama (“Tauhid” yang berasal dari kata “ahad” dalam bahasa Arab):

Fisika Quantum: Parts are seen to be in immediate connection, in which their dynamical relationships depend, in an irreducible way, on the state of the whole system (and, indeed, on that of broader systems in which they are contained, extending ultimately and in principle to the entire universe). Thus, one is led to a new notion of unbroken wholeness which denies the classical idea of analyzability of the world into separately and independently existent parts.

Comments