Susahnya Mencintai Produk Dalam Negeri

Dilihat dari banyak sudutpun, produk dalam negeri sulit bersaing dengan produk yang masuk dari luar. Mulai dari produk barang hingga pelayanan khususnya perfilman.

Kebanyakan dari kita hanya memiliki jiwa konsumtif bukan jiwa pencipta karya. Kita, kalo bukan sebagai target pasar maka kita (baca:negara kita) akan menjadi target pembuangan sampah. Misalnya, barang elektrlnik yang tak patut pakai lagi di luar sana dibawa ke kita untuk dijual kembali. Luar biasa.

Saya pun menganggap diri demikian. Kebanyakan dari kita, adalah sales promotion dari merek luar negeri, kenapa? Karena, kita akan bela-belain membeli barang bermerek yang mahal ketimbang barang negeri sendiri dikarenakan murah dan ndak bermutu. Atau, sebaliknya, barang mewah dari luar tapi bekas, diramu kembali menjadi layak pakai, dijual dengan murah sehingga prosuk dalam negeri yang sejenis menjadi kurang laku dikarenkan harganya yang sangat mahal. Susahnya mencintai produk negeri sendiri.

Film negeri sendiri pun hanya sekedar pemuas nafsu sementara. Film kita hanya selalu dipenuhi bumbu pornografi, horor dan intrik-intrik yang tidak pas dengan budaya kita. Coba lihat film dari luar, mereka tetap menggambarkan betapa besar kebanggaan mereka pada negaranya dan hal ini terlihat dalam adegan filmnya. Periklanan kita pun asli bobrok. Bukan dalam hal tampilan. Tampilannya luar biasa. Tapi, makna yang dimasukkan dalam iklan tersebut 99% adalah pembodohan semata. Sesuatu yang membuat para penontonnya untuk ikut berpikir tidak masuk akal dalam melihat realita hidup ini. Acara-acara televisi pun sudah dipenuhi dengan adegan-adegan pertengkaran yang menambah tingkat kebisingan dalam masyarakat. Maksudnya, sinetron2 yang ditampilkan asli tidak mendidik, baik bagi anak-anak, remaja maupun yang sudah dewasa.

Padahal, Indonesia ini harus bangkit dengan segala komponen yang ada di dalamnya. Olahraga kita jangan hanya sepak bolanya yang diperbaiki, masih banyak olahraga yang bisa kita kembangkan yang pemainnya berasal dari anak daerah. Sistem Pendidikan kita pun carut-marut. Asli tidak menjadikan kita cerdas dan genius. Pemerintah atau kurikulum kita mungkin mengharapkan dengan mempelajari pendidikan majemuk kepada siswa, maka siswa akan dengan sendirinya menjadi cerdas karena banyak yang dia tahu. Padahal mengetahui segalanya belum tentu menjadikan kita cerdas apalagi genius. Genius barulah kita sandang jika kita mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, misalnya Alexander Graham Bell baru dikatakan genius setelah menemukan telepon. James Watt baru menyandang kegeniusannya setelah menemukan mesin uap. Bill Gates baru dikatakan oleh dunia manusia tergenius setelah berhasil menemukan komputer. Apakah mereka banyak info yang diketahuinya dari sekolah? Jawabannya tidak semua, malahan hampir dari mereka yang menyandang genius adalah yang tidak merasakan dunia sekolah. Sekolah pada prinsipnya hanya menciptakan para buruh berdasi. Tetapi mereka yang genius, menganggap masalah yang dia hadapi, kebodohan yang dia hadapi adalah sebuah tantangan untuk setiap hariya dia formulasikan untuk menemukan sebuah solusi besar terhadap masalahnya. Kalau Kita, terkadang menutupi satu masalah dengan masalah lain, jauh dari namanya solusi.

Tapi, saya pribadi, tidak pesimis terhadap Indonesia. Kita hanya membutuhkan satu momen penyadaran. Bahwa, Indonesia adalah Tanah Yang di Ridhoi, tanah yang sekelilingnya mampu melahirkan manusia-manusia genius. Dan, saya himbau, mulai saat Anda membaca tulisan saya ini, camkan kata-kata dari teman saya "Semuanya sudah ada dalam dirimu, mintalah dengan melalui dirimu sendiri". Tidak usah menunggu sistem pendidikan kita berubah. Jika kalian merasa berat di sekolah, tinggalkan saja, tapi ganti dengan sesuatu yang lebih membuat Anda tertantang. Hidup ini singkat, sayang sekali jika kita melewatkannya, sedangkan Indonesia sudah memiliki Sumber Daya Alam yang lengkap. Tunggu apa lagi. Get Action, RightNow.

Comments