Teka-Teki Kehidupan

Dulu saya pernah katakan pada bapak saya bahwa, untuk bisa hidup kita harus bisa mengerti teka-teki kehidupan. Saya masih kecil saat itu. Rasanya masih sulit membedakan yang benar dan salah, namun saat itu, kematangan berpikir terasa telah melingkupi ku. Saya telah mengerti akan suatu saat kita bisa menang dan akan kalah pula. Suatu saat kita berjalan, berlari dan terkadang terjatuh. Dan hidup ini masih misteri makanya harus terus dijalani hingga waktunya usai.

Dan alhasil, barulah saya mengangkatnya sekarang dalam tulisan bahwa teka-teki itu masih berlanjut sekarang. Apakah kita masih berdiri pada tanah yang sama dengan tanah yang masih kita kecil atau kita sudah mengalami perpindahan? Kesemuanya itu ada dalam teka-teki kehidupan kita. Hampir semua teka-teki kehidupan kita sama. Yaitu, dimulai dari kelahiran, masa kanak-kanak, meranjak dewasa, meranjak tua, dan lansia hingga akhirnya menutup mata. Apakah yang membedakan? Hanya warna dan cahayanya saja. Ada diantara kita memiliki warna yang sayup, ada pula yang ngejrenk, ada cahayanya yang redup, ada pula yang terang-benderang. Itulah yang membedakan.

Kita pun saling bertumbukan dan menghasilkan momen. Itulah berkeluarga. Itulah bumbunya hidup. Tapi teka-teki ini kapan berakhirnya?

Tak ada yang tahu. Cuman kita bisa menafsirkan, kapan teka-teki itu menghasilkan kesialan, kapan pula keberuntungan. Apakah ini tebakan judi? Bisa ya, bisa tidak. Mungkin diantara kita sudah berjudi dengan kehidupan. Selalu menerka-nerka kehidupan. Menetapkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Tapi itulah kita. Kita hanya mampu memaparkannya dengan tanpa memberi solusi karena hidup setiap orang ,memerlukan solusi yang berbeda.

Akhir kata, teka-teki itu tetap berlanjut pada setiap orang. Keluar dari teka-teki hanya akan membuat hidup menjadi tidak terasa. Tetaplah berada dalam teka-teki itu, ikuti arusnya dan jangan sampai terbawa olehnya. Cukupkan dirimu bersama kekasih hidup yang tak lekang oleh waktu, itulah akhlakmu. Semoga kita terjaga pada hitamnya hidup karena khilafnya nafsu membimbing kita.

Comments